Rabu, 23 Desember 2009

PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI (HTI) PADA KAWASAN PADANG ALANG-ALANG DENGAN KONSEP PENGELOLAAN HAMA TERPADU

AGUNG YUDHI NUGROHO
E 451090041
Mayor Silvikultur Tropika, Sekolah Pascasarjana IPB
(Disampaikan sebagai jawaban atas TAKE HOME EXAM MK.TPH)

ALANG-ALANG
Alang-alang atau ilalang ialah sejenis rumput berdaun tajam, yang kerap menjadi gulma di lahan pertanian. Rumput ini juga dikenal dengan nama-nama daerah seperti alalang,halalang (Min.), lalang (Mly., Md., Bl.), eurih (Sd.), rih (Bat.), jih (Gayo), re (Sas., Sumbawa), rii, kii, ki (Flores), rie (Tanimbar), reya (Sulsel), eri, weri, weli (Ambon dan Seram), kusu-kusu (Menado, Ternate dan Tidore), nguusu (Halmahera), wusu, wutsu (Sumba) dan lain-lain. Dalam bahasa Inggris dikenal sebagai bladygrass, cogongrass, speargrass, silver-spike atau secara umum disebut satintail, mengacu pada malai bunganya yang berambut putih halus. Orang Belanda menamainya snijgras, karena sisi daunnya yang tajam melukai.
Kalsifikasi Ilmiah
Kerajaan: Plantae

Divisi: Magnoliophyta

Kelas: Liliopsida

Ordo: Poales

Famili: Poaceae

Genus: Imperata

Spesies: Imperata. cylindrica
Marga Imperata memiliki anggota sekitar 8 atau 9 spesies. Selain Imperata cylindrica, beberapa jenis yang lain misalnya: Imperata brasiliensis - Brazilian bladygrass, Brazilian satintail, Imperata brevifolia - California satintail, Imperata conferta - plumegrass, kunay grass, Imperata contracta – guayanilla.

Deskripsi
Alang - alang tergolong jenis rumput tahunann yang memilki akar rimpang, tingginya berkisar abtara 50 sampai 200 cm. Panjang daunnya dapat mencapai 150 cm dan lebar 4-18 mm. Batangnya memiliki diameter 8 mm., terdiri atas 1-4 ruas yang apad ujungnya membentuk bunga dengan dengan panjang 3-20 cm. Rimpang alang - alang berdiameter 2-4.5 mm dan tumbuh menjalar pada kedalaman 15-20 cm dari permukaan tanah.

Perkembangbiakan
Alang - alang berkembang biak secara generatif dengan biji dan secara vegetatif dengan rimpang. Tumbuhan ini dapat menghasilkan 3000 biji per tanaman. Pembungaan umumnya terjadi pada musim kering atau setelah mengalami stres seperti adanya kebakaran, penebasanatau kekeringan. Bijinya dapt berkecambah dalam waktu 1 minggu dan mampu bertahan selama 1 tahun. Alang - alang umumnya menyebar dengan rimpang yang di dalam tanah membentuk tajuk baru setiap panjang rimpang 25-50 cm. Potongan rimpang sepanjang 15 cm dapat menghasilkan 350 alang - alang baru hanya dalam waktu 6 minggu.

Penyebaran
Alang-alang menyebar alami mulai dari India hingga ke Asia timur, Asia Tenggara, Mikronesia dan Australia. Kini alang-alang juga ditemukan di Asia utara, Eropa, Afrika, Amerika dan di beberapa kepulauan. Namun karena sifatnya yang invasif tersebut, di banyak tempat alang-alang sering dianggap sebagai gulma yang sangat merepotkan.

PENGENDALIAN HAMA TERPADAU
Penggunaan kombinasi beberapa teknik pengendalain untuk menekan populasi hama secara efektif, ekonomis dan ramah lingkungan. Pemilihan teknik disesuaikan dengan tempat dan kondisi lokal.
Teknik Pengendalain Hama Terpadu
• Fisik Mekanik
• Biologi hayati
• Pengendalian Kimia
(Farikah N 10 September 2009, komunikasi pribadi)
TEKNIK PENGENDALAIN ALANG – ALANG
Teknik pengendalian alang - alang dalam persiapan lahan baik untuk lahan pertanian, perkebunan ataupun HTI harus memperhatikan konsep pengendalian hama terpadu. Berbagai cara dikembangbangkan dalam pengendalian alang - alang berdasarkan konsep pengendalian hama terpadu. Pada Tabel 1 dapat dilihat teknik pengendalain alang - alang, dimana setiap teknik terdapat keunggulan dan kelemahan masing - masing. Data ini disarikan dari Suryaningtyas et al,1996 dan Noor, 1997.

PENGENDALIAN ALANG-ALANG UNTUK PEMBANGUNAN HTI
Hutan Tanaman Industri (HTI) adalah usaha hutan tanaman untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur sesuai dengan tapaknya (satu atau lebih sistem silvikultur) dalam rangka memenuhi kebutuhan bahan baku industri hasil hutan kayu maupun non kayu. PP. 34/2002 tanggal 8 Juni 2002 paasal 30 ayat (3) usaha pemanfaatan hasil hutan pada hutan tanaman, dilaksanakan pada lahan kosong, padang alang-alang, dan atau semak belukar dihutan produksi (Direktorat Bina Pembangunan Hutan Tanaman, 2009). Padang alang- alang tersebar di seluruh Indonesia. Menurut Sukardi et al. dalam Garrity et al., 1997), luas padang alang-alang di Indonesia mencapai 8,5 juta ha atau sekitar 4,47% dari luas wilayah Indonesia.
Pengendalian alang-alang dalam rangka penyiapan lahan dapat dilakukan secara kimia atau penggunaan herbisida, fisik mekanik dapat dilakukan secara manual dengan menggunakan cangkul atau bajak, menggunakan traktor ataupun dengan metode pengendalian hayati (biologi). Pembangunan HTI dengan areal padang alang - alang harus tetep dilakukan dengan konsep pengendalian hama terpadu. Selain itu faktor efektifitas dan biaya cukup berpengaruh dalam pembangunan HTI. Pengendalian alang - alang untuk pembangunan HTI dapat dilakukan dengan cara kimia dan cara biologi.

Berbagai teknik pengendalian alang - alang telah dikembangkan, tapi tidak semua teknik tersebut sesuai jika diterapkan untuk pembangunan HTI. Sebab dalam pembangunan HTI perlu adanya keefektivitasan dan biaya mengingat luasan lahan yang dipersiapkan cukup luas. Dari beberapa teknik yang ada dan dinilai cukup sesuai untuk persiapan pembangunan HTI yaitu dengan cara pengendalian secara kimia dan pengendalian secara biologi.
Konsep pengendalian alang alang yang disiapkan untuk membangunan HTI dengan menggunakan teknik pengendalian cara kimia dan cara biologis dilakukan secara berurutan. Tahapan pertama dilakuakan pengendalian cara kimia dengan menggunakan herbisida sistemik. Penyemprotan dilakukan pada kawasan padang alang alang yang disiapkan untuk HTI. Kemudian setelah beberapa hari tanaman menguning dan akan mati maka pengendalian biologi dapat dilakukan, dengan cara penanaman tanaman fast growing species. Pengendalian ini dilakukan bertujuan untuk menekan pertumbuhan kembali alang–alang pasca penyemprotan, sehingga biaya perawatan dapat ditekan dan dapat menghasilkan hasil sampingan.
Setelah penanaman tanaman sela dilakukan maka penenanaman pokok dapat dilakukan. Penenanaman tanaman pokok dan tanaman sela diatur sedemikian rupa sehingga nantinya tidak terjadi persaingan antar tanaman.

Pengendalian Cara Kimia
Pengendalian alang – alang secara kimia dipilih kerena teknik ini mempunyai banyak keuntungan jika diaplikasikan untuk pembangunan HTI, karena teknik ini mempunyai efektivitas yang cukup tinggi terhadap konservasi lingkungan dan ekonomis. Keuntungan pengendalian secara kimia yaitu, Menghemat waktu, tenaga kerja, dan biaya Pengendalian gulma dapat dipilih saatnya yang disesuaikan dengan waktu yang tersedia. Areal pertanaman dapat diperluas. Herbisida mengurangi gangguan terhadap struktur tanah, bahkan gulma yang mati berfungsi sebagai mulsa yang bermanfaat mempertahankan kelembaban tanah, mengurangi erosi, menekan pertumbuhan gulma baru, dan berfungsi sebagai sumber bahan organik dan hara.
Pengendalain cara kimiawi untuk alang - alang sebaiknya menggunakan herbisida yang bersifat sistemik. Pemilihan herbisida yang bersifat sistemik karena cara kerja herbisida ini di alirkan ke dalam jaringan tanaman gulma dan mematikan jaringan sasarannya seperti daun, titik tumbuh, tunas sampai keperakarannya. Keistimewaannya, dapat mematikan tunas - tunas yang ada dalam tanah, sehingga menghambat pertumbuhan gulma tersebut. Hal ini sangat sesuai dengan fisiologis dari alang - alang, dimana perkembangbiakan alang - alang selain generatif, alang - alang juga berkembangbiak dengan vegetatitif yaitu rimpang, dimana rimpang dari alang - alang terletak didalam tanah dengan kedalaman 15-20 cm. Dengan cara kerja herbisida sistemik maka tunas dan rimpang yang ada didalam tanah akan mati. Untuk memaksimalkan penggunaan herbisida sistemik harus memperhatikan kondisi lingkungan saat itu, sebab kekurangan dari herbisida ini dalam pengaplikasian tergantung dari cuaca. Oleh sebab itu maka dalam penggunaan herbisida harus diperhatikan beberapa hal agar pemanfaatannya bisa optimal.
Beberapa faktor yang mempengaruhi efektivitas herbisida sistemik, yaitu: gulma harus dalam masa pertumbuhan aktif, penyemprotan dilakukan pada waktu cuaca cerah, tidak melakukan menyemprotan menjelang hujan, lokasi yang akan disemprot dalam keadaan kering, menggunakan air bersih sebagai bahan pelarut, dan herbisida boleh dicampur dengan herbisida 2,4D amina atau dengan herbisida Metsulfuron. Selain itu agar penggunaan herbisida tidak menyebakan pencemaran lingkungan maka penyemptotan dilakukan pada areal sasaran dan takaran dosis sesuai dengan kebutuhan per satuan luas. Contoh herbisida sistemik adalah glifosat, sulfosat, roundup, smart.

Pengendalian Cara Biologi
Alang-alang bukan hanya sebagai pesaing bagi tanaman lain terutama tanaman pangan dalam mendapatkan air, unsur hara dan cahaya tetapi juga menghasilkan zat alelopati yang menyebabkan pengaruh negatif pada tanaman lain (Hairiah et al., 2001). Alang alang pada areal terbuka sangat cepat menginvasi areal tersebut, sebab alang alang merupakan tumbuhan yang tidak tahan akan naungan sehingga pertumbuhannya sangat tertekan pada kondisi ternaungi.
Teknik yang dipergunakan dalam pengendalian ini dengan sistem tanaman sela. Teknik ini dipilih sebab dari aspek ekologis menciptakan tegakan yang heterogen sehingga kedepannya serangan hama dapat diminimalkan, sebab tegakan yang homogen sangat rentan terserang oleh hama. Dengan pengaturan daur antara tanaman pokok dan tanaman sela yang baik akan menghasilkan pendapatan tambahan. Pendapatan tersebut diperoleh dari pemanenan tanaman sela yang terlebih dahulu dipenen, sebab tanaman sela yang dipergunakan merupakan fast growing species dan pemilihan tanaman yang digunakan harus memperhatikan tanaman pokok, sehingga tidak terjadi persaingan antar tanaman. Beberpa tanaman yang biasa digunakan sebagai tanaman sela menurut Purnomosidhi dan Subekti R. 2000:
a. Sengon (Paraserianthes falcataria).
Pada awalnya petani membuka lahan yang beralang-alang dengan menggunakan herbisida dan dibajak. Selanjutnya ditanami sengon (Paraserianthes falcataria) dengan jarak tanam 2 x 2 atau 2 x 2.5 atau 2 x 4 m2. Pada sengon yang berumur antara 5-8 tahun intensitas cahaya yang samp ai di permukaan tanah antara 18-28% dari total cahaya penuh. Pada intensitas ini, alang-alang dapat ditekan pertumbuhannya, tetapi masih mampu untuk tumbuh kembali.
b. Akasia (Acasia mangium).
Akasia yang ditanam dengan jarak tanam 2 x 4 m2 (1.250 tanaman ha-1) dengan basal area 23 cm2 m-2 pada umur 4 tahun intensitas cahaya yang sampai di permukaan tanah hanya 10%, sehingga cukup baik digunakan untuk merehabilitasi alang-alang.
c. Petaian (Peltophorum dasyrrachis)
P. dasyrrachis yang ditanam di antara alang-alang dapat menghambat pertumbuhan alang-alang tersebut (Agroforestree Database; Van Noordwijk
and Rudjiman, 1997). Berdasarkan penelitian ICRAF-BMSF, biomasa alang-alang setelah satu tahun dinaungi dengan P. dasyrrachis adalah 0,252 Mg ha-1. Biomasa ini lebih kecil bila dibandingkan dengan alang-alang yang tanpa naungan yaitu 1,755 Mg ha-1.

d. Gamal (Gliricidia sepium)
G. sepium termasuk jenis tanaman yang cepat tumbuh sehingga dapat digunakan untuk mengendalikan alang-alang. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa biomasa alang-alang setelah satu tahun dinaungan G.sepium adalah 0,045 Mg ha-1, jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan pertumbuhan alang-alang tanpa naungan yaitu 1,755 Mg ha-1. Biomasa alang-alang di bawah naungan P. dasyrrachis, G. sepium dan campuran antara P. dasyrrachis dengan G. sepium selama satu tahun.

PENUTUP
Pembangunan HTI pada kawasan padang alan alang dengan konsep pengendalian hama terpadu dapat dilakukan dengan cara:
1. Pengendalian alang-alang untuk pembangunan HTI dilakukan secara kimiawi dan biologis.
2. Tahapan konsep pengendalian alang alang dilakukan dengan cara pengendalian dengan teknik kimia terlebih dahulu kemudian dilanjutkan dengan teknik biologi
3. Pengendalian kimiawi dengan menggunakan herbisida sistemik, dalam penggunana herbisida harus tetap memperhatikan aspek lingkungan
4. Pengendalain secara biologis menggunakan tanaman sela yang bersifat fast growing species.
5. fast growing species antara laian Sengon (Paraserianthes falcataria), Akasia (Acasia mangium), Petaian ( Peltopharum dasyrrachis), Gamal (Gliricidia sepium).

PUSTAKA

Direktorat Bina Pembangunan Hutan Tanaman. 2009. Kebijakan Pembangunan Hutan Tanaman Indonesia. [Powerpoint]. Jakarta.

Garrity DP et al. 1997. The Imperata grasslands of tripocal Asia: area, distribution and typology. Agroforestry Systems 36: 3-29.

Hairiah K et al. 2000. Reclamation of Imperata Grassland using Agroforestry.
Lecture Note 5. ICRAF. [ terhubung berkala]. http://icraf.cgiar.org/sea. [12 Desember 2009].

Heyne K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia jil. 1. Jakarta: Yayasan Sarana Wana Jaya. Hal. 147-150.

Noor ES. 1997. Pengendalian Gulma di Lahan Surut. Proyek Penelitian Pengembangan Pertanian Rawa Terpadu-ISDP Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. [terhubung berkala]. http:// http://www.pustaka- deptan.go.id/agritek/isdp0102.pdf. [10 Desember 2009].

Purnomosidhi P dan Subekti R. 2000. Pengendalian Alang-Alang Dengan Pola Agroforestri. Bogor: ICRAF SEA. [terhubung berkala] http://www.worldagroforestry.org/SEA/Publications/files/bookchapter/BC 0164-05.PDF. [10 Desember 2009].

Suryaningtyas H, Anang G, dan Agus DG. 1996. Pengelolaan Alang - alang di Lahan Petani. Jakarta: Pusat penelitian Karet, Balai Penelitian Sembawa, Natural Resources Institute UK.

Jumat, 04 Desember 2009

PEMANFAATAN TEKNOLOGI REMOTE SENSING UNTUK MONITORING KEBERHASILAN REHABILITASI LAHAN BEKAS TAMBANG

Latar Belakang

Dunia pertambangan semakin berkembang seiring kemajuan zaman, explorasi dan exploitasi semakin gencar dilakukan untuk mendapatkan hasil tambang yang maksimal. Dengan adanya explorasi dan exploitasi banyak areal hutan dan lahan yang terdegradasi, yang mengakibatkan meningkatnya laju erosi tanah, laju permukaan air ( run off ), sedimentasi dan terganggunya daerah tangkapan air ( watershed areas ). Dampak lain terjadinya penurunan biodevirsity jenis tanaman lokal serta terganggunya habitat satwa. Sehingga untuk mencegah kerusakan lingkungan lebih lanjut perlu adanya rehabilitasi dan restorasi lahan bekas tambang.

Rehabilitasi dan restorasi lahan bekas tambang wajib dilakukan oleh pengusaha tambang, sebagai tanggung jawab terhadap lingkungan. Hal ini didasarkan atas :

Ø UU No. 11/1967, tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan
Ø PP No. 32/1969, tentang Pelaksanaan UU No. 11/1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan
Ø PP No. 75/2001, tentang Perubahan Kedua Atas PP No. 32/1969
Ø Kepmen PE No. 1211.K/1995, tentang Pecegahan dan Penanggulangan Perusakan dan Pencemaran Lingkungan Pada Kegiatan Pertambangan Umum
Ø Kep Dirjen PU No. 336/1996, tentang Jaminan Reklamasi. ( Direktorat Teknik dan Lingkungan Mineral Batubara dan Panas Bumi, 2006 ).

Kendala utama dalam melakukan kegiatan rehabilitasi pada lahan-lahan terbuka pasca penambangan adalah kondisi lahan yang marginal. Tanah yang memadat, minimnya kandungan unsur hara, potensi keracunan mineral, miskinnya bahan organik, status KTK (Kapasitas Tukar Kation) yang rendah, dan minimnya populasi dan aktivitas mikroba tanah potensial, merupakan faktor-faktor penyebab buruknya pertumbuhan tanaman dan rendahnya tingkat keberhasilan rehabilitasi (Setiadi, 2006).

Kegiatan rehabilitasi yang mempunyai kendala yang cukup tinggi sehingga mengakibatkan tingkat keberhasilannya yang rendah. Oleh sebab itu keberhasilan rehabilitasi perlu dimonitoring oleh berbagai pihak yang peduli terhadap lingkungan.

Kerangka Pemikiran

Pengusaha tambang wajib untuk merehabilitasi lahan bekas tambang karena tanggung jawab terhadap kelestarian lingkungan yang diatur dalam Undang-undang dan Peraturan Pemerintah. Kendala yang tinggi menyebabkan keberhasilan rehabilitasi lahan cukup rendah, sehingga perlu dimonitoring. Monitoring keberhasilan rehabilitasi lahan tambang perlu dilakukan secara kontinyu, kendala monitoring keberhasilan rehabilitasi lahan dilapangan jika dilaksanakan secara manual yakni kurangnya tenaga ahli dan memerlukan waktu yang cukup lama. Untuk mengatasi permasalahan tersebut perlu digunakan pemanfatan teknologi remote sensing untuk pemantauan tingkat keberhasilan rehabilitasi lahan bekas tambang.

Hipotesis

Dengan monitoring keberhasilan lahan bekas tambang yang direhabilitasi secara maksimal, mengupayakan agar menjadi ekosistem yang berfungsi optimal atau menjadi ekosistem yang lebih baik, serta daya dukung lingkungan akan kembali secara optimal.

Pendekatan & Metodologi

Pemantauan dan pemeliharaan merupakan komponen penting dari program rehabilitasi yang berhasil baik. Saat melaksanakan rehabilitasi, perincian mengenai operasi rehabilitasi ini harus didokumentasikan dengan seksama. Pencatatan data ini mempunyai tujuanyaitu agar dapat melakukan analisis yang diperlukan dalam membantu menjelaskan hasil pembangunan awal serta tren jagka panjang.

Pendekatan dan metodologi yang digunakan yaitu studi kasus pada beberapa perusahaan tambang yang telah melakukakan kewajiban rehabilitasi pada lahan bekas tambang yang dieksploitasi. Analisa keberhasilan rehabilitasi lahan didasarkan atas persen hidup vegetasi yang ditanam dilahan bekas tambang. Data yang digunakan untuk analisis keberhasilan dari hasil penggunaan data digital remote sensing dibandingkan dengan analisis keberhasilan pengamatan langsung dilapangan, maka metode remote sensing akan mengumpulkan serangkaian data lapangan dan gambar yang berkorelasi dengan data lapangan tersebut. Untuk memberikan perhitungan pengukuran berskala-petak dari seluruh lokasi diperlukan parameter tertentu. Parameter penentu keberhasilan tersebut didasarkan pada persen hidup spesies yang digunakan untuk rehabilitasi dan rasio persentase tutupan lahan sebelum dan pasca penambangan.

Pustaka

Direktorat Teknik dan Lingkungan Mineral Batubara dan Panas Bumi. 2006. Peraturan Tentang reklamasi Tambang [ multimedia ms powerpoint ]. Di dalam: Seminar Nasional Rehabilitasi Lahan Tambang. Yogyakarta, Sabtu 11 Februari 2006. Jakarta: Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral.

Setiadi Y. 2006. Teknik Revegetasi Untuk Merehabilitasi Lahan Pasca Tambang [intisari]. Di dalam: Seminar Nasional PKRLT Fakultas Pertanian UGM. Yogyakarta, Sabtu 11 Februari 2006. Bogor: Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, Kampus IPB Darmaga, P0 Box 69 Darmaga.

PENERAPAN PERLINDUNGAN HUTAN SESUAI DENGAN FUNGSI HUTAN: LINDUNG, PRODUKSI DAN KONSERVASI

PENDAHULUAN
Berdasarkan UU No. 41 tahun 1999 pasal 1 hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan dengan: mengoptimalkan aneka fungsi hutan yang meliputi fungsi konservasi, fungsi lindung, dan fungsi produksi untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial, budaya, dan ekonomi, yang seimbang dan lestari.
Seiring perkembangan jaman pemanfataan tidak dilakukan secara optimal dan lestari, sehingga menyebabkan laju degradasi hutan yang cukup signifikan. Berkurangnya areal hutan dipergunakan untuk pengembangan ekonomi dibidang pertanian, pertambangan, perkebunan dan pengembangan pemukiman. Pengkonversian lahan hutan tersebut tanpa memperhatikan aspek dari fungsi –fungsi hutan.
Penerapan perlindungan hutan mempunyai perbedaan pada tiap fungsi hutan, hal ini dikarenakan setiap hutan mempunyai karakteristik yang berbeda sehingga menyebabkan perbedaan fungsi hutan. Dengan adanya perbedaan penerapan perlindungan hutan pada tiap tiap fungsi akan

TUJUAN
Mengkaji penerapan perlindungan hutan berdasarkan fungsi hutan: lindung produksi dan konservasi.

PEMBAHASAN
Berdasarkan UU No. 41 tahun 1999, hutan berdasarkan fungsinya digolongkan menjadi tiga yaitu: hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi ( pasal 6 UU No.41 th 1999). Hutan produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan. Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah. Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Fungsi hutan konservasi mempunyai cakupan fungsi dari hutan lindung dan hutan produksi hal ini merujuk pada UU No. 5 tahun 1990 pasal 5 yaitu konservasi sumber daya alam dan ekosistemnya dilakukan melalui kegiatan, perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Perlindungan sistem penyangga kehidupan merupakan fungsi dari hutan lindung dimana fungsi tersebut menyangga kehidupan agar komponen penyangga ekosistemnya berfungsi dengan baik dan optimal. Pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya merupakan fungsi dari hutan konservasi itu sendiri. Fungsi hutan produksi berdasarkan UU ini yaitu pemanfaatan secara lestari sumber daya alam dan ekosistemnya.
Penerapan perlindungan hutan pada fungsi hutan tidak dapat diterapkan secara sama, namun dari secara tidak langsung ketiga fungsi tersebut mempunyai fungsi utama yaitu konservasi terhadap sumber daya hutan dan ekosistemnya. Penerapan perlindungan hutan pada masing – masing fungsi hutan berbeda karena tiap hutan mempunyai tujuan dan karakteristik yang berbeda.

HUTAN LINDUNG
Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah. Pemanfaatan hutan lindungberdasrkan UU No 41 th 1999 Pasal 26 dapat berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, dan pemungutan hasil hutan bukan kayu. Penerapan perlindungan pada hutan lindung berdasarkan sistem zonasi. Pada zona inti dan zona rimbaa secara hukum tidak boleh dimanfaatkan. Pemanfaatan hutan lindung selain pada kedua zona tersebut, dapat dimanfaatkan berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, dan pemungutan hasil hutan bukan kayu.

HUTAN PRODUKSI
Hutan produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan. Pemanfaatan hutan produksi dapat berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu ( Pasal 28 UU No.41
th.1999). Klasifikasi fungsi hutan disusun untuk kepentingan pengelolaan hutan. Dasar penggolongan hutan untuk penyusunan klasifikasi hutan secara umum berdasarkan pada: komposisi jenis, komposisi umur, kerapatan tegakan dan tipe hutan. Klasifikasi hutan yang ada biasanya untuk menentukan teknik-teknik silvikultur.

HUTAN KONSERVASI
Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Secara umum kawasan tersebut dibedakan menjadi kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam. Kawasan hutan suaka alam adalah hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhandan satwa serta ekosistemnya, yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan. Termasuk dalam kawasan ini adalah Cagar alam dan suaka margasatwa. Kedua kawasan tersebut dilindungi secara ketat sehingga tidak ada campur tangan manusia dalam proses – proses alami ekosistemnya, kawasan ini hanya untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan pendidikan. Kawasan hutan pelestarian alam adalah hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Termasuk dalam kawasan ini adalah taman nasional, taman wisata alam,taman hutan raya,taman buru. Taman nasional merupakan kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli yang dikelola sistem zonasi, yang dipergunakan untuk penelitian,ekonomi. Taman wisata alam merupaka kawasan yang diperuntukan sebagai tempat wisata. Taman buru merupaka kawasan yang dipergunakan sebagai wisata buru. Taman hutan raya, kawsan yang diperuntukan sebagai tempat koleksi tumbuh – rumbuhan secara exsitu dan diperuntukan kepentingan ilmu pengetahuan, pendidikan , tempat wisata serta penunjang budaya.

KESIMPULAN
Penerapan perlindungan pada sebagai fungsi hutan sebagai fungsi lindung, fungsi konservasi dan fungsi poduksi dalam penerapan berbeda. Hal ini disesuaikan dari tujuan pembangunan fungsi hutan dan karakteristik dari hutan tersebut. Pada hutan lindung, penerapan perlindungan berdsarakn zonasi. Penerapan fungsi hutan pada hutan produksi berdasarkan arah tujuan pembangunan hutan produksi hal ini menentukan teknik – teknik silvikultur . penerapan perlindungan hutan pada hutan konservasi berdasarkan kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam.

DAFTAR REFERENSI
1. UUD 1945
2. UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan
3. UU No.5 tahun1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya